Kita memang harus banyak belajar untuk mencari kebenaran, tapi begitu dapat dan yang mendapatkan referensi kebenaran sudut pandang yang lain lantas kita kekeh dengan egonya mempertahankan kebenaran tersebut dengan mencari pembenaran dan tentunya bukan untuk membanggakan kebenaran itu, pembenaran pabila hanya sebatas menjawab pertanyaan namun kita sendiri tidak mengimplementasikan dari esensi makna benar tersebut sama saja ngawur.
Karena kebenaran diri kita hanya bersifat ilmu dan pengetahuan, yang perlu kita banggakan outputnya dari kebenaran yaitu kenyamanan bagi orang lain, kasih sayang dan keseimbangan.
Kebenaran itu luas. Ada benarnya sendiri, benarnya banyak orang (Demokrasi) misalnya benarnya yang sejati dari Tuhan, karena itu output kebenaran adalah jangan kebenaran namun outputnya adalah kebijakan dan keseimbangan bersama. Artinya kebenaran itu harus kita adonin dan kita olah sedemikian rupa indahnya supaya menjadi kebaikan, indah, kearifan, kebijakan, cinta dsb
Pasca pilpres pun didumay masih gontok-gontokan antar pendukung apa lagi bagi yang kalah selalu mencari cela untuk menyalahkan atau menghujat. Naluri manusiawi kalau lagi kesel (sakit ati) dengan seseorang entah sahabat, teman, keluarga, suami, istri, anak, kakak, adik, pun orang tua kita, bahkan guru kita apa lagi lawan beda pilihan (fans berat perpolitikan) terlebih hanya pertemanan di dumay, sebanyak apapun kebaikan yang kita lakukan, kita tetep yang diinget kejelekannya kita pokoke nggak ada benernya sama sekali.
Miris jadi inget jaman baheula fanatik buta antar kelompok masing-masing, suku dan ras seng di namakan 'ashabiyah mempermasalahkan sepele di anggap masalah besar, namun justru masalah yang besar dianggap tidak bermasalah, wong podo-podo bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad S.A.W adalah utusan Allah berati orang tersebut di katakan muslim dan muslimat dan tentunya muslim satu dengan muslim lainnya adalah saudara "al muslim akhul muslim" lah moso sesama saudara gontok-gontokan hasud sini hasud sono padahal notabene syahadate sama, beda pilihan, beda cara teknis dan beda pergerakan sak umur urip benci lah apakah pantes.
Lah tatanane, system, standarisasi, ya harus sama, lah wong kita sudah sering denger cerita para ngulama dulu b kui rukun hayooo tumandang bareng jalankan tugas sesuai tugas keahlian masing-masing.
Yang paling tersulit adalah bagaimana dalam keadaan apapun, hujan, kemarau, gelap atau terang ekonomi krisis atau sejahtera tetap berlaku penuh kasih sayang, tetap berlaku untuk menciptakan keseimbangan satu sama lain.
Kalau ngomongin terkait NKRI sudah barang tentu gandengan dengan Bhineka Tunggal Ika semuanya pada taulah maksud artinya hal tersebut punya kematangan dan perluasan berfikir, walhasil dituntut untuk memiliki kearifan , kebijaksanaan dan ilmu yang seluas- luasnya untuk saling menghargai, menghormati serta mengapresiasi satu sama lain.
Lah geger bin ruwes adu dalil dan saling serang sana sini tiap tahun mengenai khilafiyah kisruh agenda program tahunan yang notabenya temanya muncul bukan dari struktur namun menjadi PR para struktur, menjelang ramadhan geger bilangan rokaat tarawih, bulan maulid geger bidngah, bulan sya'ban geger anjuran dan tidaknya dzikir bareng, hari natal dan tahun baru sami mawon di bahas maning (jawa: sama saja) yang masih anget. Belum lagi program dari struktur pildes, pilbup, pilgub dan pilpres yang gak ada, belon lagi ganti progam musiman banjir tahunan di jakarta dan merambah bekasi juga ikutan punya program musim banjir pertahun, tiap periode ganti pemimpin ya sami mawon wong yang di kedepan awalnya nyalahin sini jatuhin sana.
Kita tidak bisa meneruskan cita-cita bangsa dan negara, dimana yang satu merasa dirinya malaikat menuduh lainnya syetan.
27.09.2019
Kominfo BEM STAI HAS
Salam Ngopi Nusantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar