Selasa, 14 Juli 2020

Resensi Buku ; Gelandang Di Kampung Sendiri


Oleh : Rokhmat

Kepada Orang-orang yang dianiaya, kepada orang-orang yang ditindas, kepada orang-orang yang dirampas kemerdekaannya, kepada orang-orang yang di miskinkan, kepada teman-teman, sahabat, orang-orang yang tetap konsisten memperjuangkan keadilan dan hidupnya diperuntukan orang-orang kecil.

Rasa-rasanya, para pejabat sering salah sangka terhadap rakyat dan dirinya sendiri. Mereka menyangka bahwa mereka adalah atasan rakyat, sementara rakyat mereka kira bawahan. Mereka merasa tinggi dan rakyat itu rendah. Maka, mereka merasa sah dan tidak berdosa kalau memaksakan kehendak mereka  atas rakyat. Mereka membuat peraturan untuk mengatur rakyat larena merasa merekalah yang berhak membuat peraturan. Rakyat hanya punya kewajiban menaatinya.

Inilah tatanan dunia yang dibolak-balik. Bukankah hak atas segala aturan berada di tangan rakyat? Kalau rakyat tidak setuju, itu berarti bos tidak setuju. Hamba sahaya harus punya telinga selebar mungkin untuk mendengarkan apa kata juragannya. Maka memjadi aneh jika rakyat terus-menerus di wajibkan berpartisipasi dalam pembanguna . Karena rakyatlah pemilik pembangunan.

Nama Emha Ainun Najib atau sapaan populernya Cak Nun kalo di kalangan jamaah maiyahan, padangmbulan, gambang syafa'at panggilan akrabnya Mbah Nun tentu tak asing dan terbiasa terdengar ditelinga kita, bagi yang pernah mendengarkan dalam tembang religi bertajuk Tombo Ati, jaman wes ahir yang di lantunkan tema pemain musik Kyai Kanjeng dengan aransemen yang khas dan lain dari pada yang lain, beliau juga salah satu pelopor berdirinnya Kyai Kanjeng. Emha Ainun Najib merupakan cendikawan sekaligus budayawan, yang piyawai dalam menggagas dan menorehkan kata-kata.

Banyak tulisan, esai, kolom, cerpen dan puisi-puisinya yang dulu. Cak Nun dulu sangat aktif sebagai kontributor media surat kabar suara merdeka, jawa pos, Tempo dan majalah-majalah dan sejak sekitar tahun 99an Cak Nun berhenti berkontributor di media, karya tulis Cak Nun kini telah banyak dibukukan, salah satunya “Gelandangan di kampung sendiri”. Buku ini memaparkan keresahan- keresahan yang dialami rakyat kecil yang tidak diperhatikan oleh pemerintahnya.

Dalam buku ini juga sertai esai dakwah yang tertulis di topik: Awas “Waswasa Yuwaswisu” Hatimu. ”Puisi”, "Kita Semua Buruh" yang amat bersahaja tetapi esensial, hakiki, realitas dan merupakan pemadatan dari kebutuhan kongkrit keseharian manusia.

Buku Gelandangan di Kampung Sendiri buku yang di tangan saya ini cetakan pertama, april 2018. Diterbitkan oleh Bentang Yogyakarta. Dan pernah di terbitkan tahun 1995 dengan judul yang sama, buku ini berjumlah 296 hlm ; 20,5 cm

Cak Nun sanggup menyajikan sekumpulan fenomena kekinian yang oleh orang lain dianggap angin lalu dan tren sesaat. Pemikiran kritisnya terungkap dalam bahasa sehari-hari yang mudah dipahami dan tentunya mudah dicerna. Kejelian dan kepekaan yang sangat dalam menyikapi banyaknya persoalan masyarakat kaum bawah dan paling terbawah, kaum menengah, dan kaum alim dari paling sok alim dan kaum elit dan yang merasa paling  sesuai dengan slogan pelit.

Realitas paradigma pemerintah Indonesia dijabarkan begitu tajam dan merinci. Seperti tradisi pemerintahan yang membicarakan sesuatu atas nama konon, negeri demokrasi, halayak contoh para calon dewan yang hendak di lantik dewan entah wali kota DPR atau Bupati, Gubernur  setelah  sudah menjadi dewan, bupati dan selanjutnya dalam suatu melaksanakan program kerja pemerintahan ngarep partisipasi dari rakyat. Tentunya kita akan beranggapan nasihat atau himbuan model apa ini? Wong wali kota, bupati dan selanjutnya kan hanya sebatas kontraktor pembaguna sebab wakil rakyat, bupati dan yang ngasih gaji rakyat.

Menerima uang suap itu di larang, kecuali yang menerima itu saya sendiri, atau setidaknya saudara saya, sahabat saya kemudian hasil suap itu di bagi dengan saya.

15.juli.2020

Salam Ngopi Nusantara





Tidak ada komentar:

Posting Komentar