Oleh : Rokhmat
Padahal, hanya di dalam waktu luang manusia bisa berfikir dan merenung tentang bagaimana seyogiyanya mengisi kemerdekaan hidup.
Maka, waktu luang itu jangan dimampatkan lagi dengan melulu main gadget. Berbincanglah bersamaku. Duduklah disampingku dan buka ruang imajinasimu. Bersama-sama kita akan larut dalam suara-suara Talijiwo. Mungkin kau akan semakin gelisah, marah, atau justru akan lupa beban dunia. Mari bersama-sama merdeka. Meski kita tetap tak tak bisa merdeka dari kenangan. Heuheuheu...
Sebatas prolog reveiw buku,. Yaa cara nulis saya, saya mengakui tidak sesuai dengan standarisasi kaum akademisi, kerap panjang kali lebar, kalo lagi rada mood tulisan ngalor ngidul ampe gak berujung walaupun dah nyampai titik. Berhentinya kalo sudah merasa cukup, kata cukuppun hanya saya yang tahu bukan teman, para pembaca, pun keluarga. Kata cukup yang saya maksudkan dengan esensi makna kata sifat mahluk dalam berbagai keadaan susah, senang, sakit, sehat, banyak, sedikit dari perkara yang dibikin dan digerakan oleh Allah ta'ala. Hehehe nggak nyambung ya? Sengaja,
cukup.
Judul: Talijiwo
Penulis: Sujiwo Tejo
Editor: Arief Koes Hernawan, Nurjannah Intan
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: Cet. 3, 2018
Tebal: viii + 176 hlm; 20,5 cm
ISBN: 978-602-291-455-6
Peresensi: Rokhmat
Buku ini berisi kumpulan 35 cerita pendek yang terbagi menjadi lima bagian dan sebuah cerita—atau mungkin bisa disebut prolog—di luar lima bagian tersebut. Secara garis besar, buku ini bercerita tentang fenomena-fenomena yang terjadi di dalam kehidupan dua tokoh bernama Sastro dan Jendro, yang bisa berperan menjadi apa saja pada masing-masing cerita. Kadang sebagai teman di salah satu cerita, sepasang kekasih di cerita lainnya, sepasang suami istri, guru dan murid, ibu dan anak, kakek dan cucu, pekerja, atau tetangga.
"Cinta bukanlah seluruh kata-kata yang pernah ada, sebab rasaku padamu tak tentang kata....
Fenomena-fenomena yang diangkat di dalam cerita pun umumnya mengacu pada kejadian nyata di sekitar kita. Beberapa cerita bahkan secara eksplisit dikaitkan dengan isu/kejadian yang sedang terjadi di Indonesia, khususnya sosial budaya dan politik. Dalam setiap cerita selalu diselipkan #Talijiwo, yang merupakan quotes/renungan untuk menanggapi fenomena yang sedang diangkat. Satu yang menarik dari selipan quotes ini adalah gaya penuturannya yang romantis, seolah ditujukan untuk seorang kekasih. Bagi yang belum membaca bukunya, ketika menjumpai beberapa kutipan quotes dari buku ini di berbagai unggahan media sosial pasti akan mengira buku ini adalah roman percintaan yang romantis. Padahal tidak demikian. Buku ini lebih sebagai refleksi dan/atau perenungan atas kejadian-kejadian di negeri ini.
Berikut beberapa contoh quotes di dalam buku ini yang pasti akan membuat pembaca jatuh hati:
“Lebih sunyi daripada kepak sayap capung di tanah rantau, Kekasih, rinduku padamu mengembara ke bintang-bintang"
(Arus Rantau, hlm. 23)
“Senja kukenang pada keningmu, Kekasih. Kala kau rebah di antara tangis dan cakrawala.”
(Sadap, hlm. 79)
“Segunung apa pun diamku merenung, tak mungkin aku sampai pada pemahaman mengapa aku mencintaimu, Kekasih…”
(Tongkol, hlm. 102)
Esai-esainya yang banyak memberi pencerahan sekaligus refleksi tentang nilai dan hubungan kemanusian yang akan pudar. Paling tidak kita mendapat sebuah gambaran yang terjadi di masa lalu dan kemudian membandingkanya dengan peristiwa masa sekarang ini.
Banyak orang pontang-pabting mdncari duit tanpa tahu alamat duit. Alamat duit adalah Tuhan, kekasih.jala ke sananya cinta. Kendaraannya jiwa pasrah.
Kadang kalo lagi suntuk bukunya Presiden Djancuker dadi penghibur ketawa ketiwi yang lucu gak tahu apa yang di ketawain.
08 mei 2020
Salam Ngopi Nusantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar