Sabtu, 16 Januari 2021

Jurnal Komunikasi Tutor dan Peserta Didik

JURNAL

 

Hambatan Komunikasi dalam Aktivitas Bimbingan Belajar antara Tutor dengan Peserta Didik TPQ.

 

Rokhmat, Semester 5 C Prodi PAI STAI Haji Agus Salim Cikarang Bekasi.

rokhmatgroover@gmail.com

 

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai hambatan komunikasi dalam aktivitas bimbingan belajar antara tutor dengan kelompok anak TPQ . Peneliti menggunakan studi kasus sebagai metode penelitian dan observasi non-partisipan dan wawancara dengan informan penelitian sebagai teknik pengumpulan data.

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara anggota kelompok yang bersekolah nonformal sekaligus karyawan dengan anggota yang bersekolah formal saja. Dalam hambatan komunikasi yang dikemukakan oleh beberapa personil, hambatan fisik dalam konteks situasi tempat bimbel yang tidak kondusif dan hambatan psikologis yang menghambat komunikasi kelompok. Selain itu terdapat hambatan lain dalam komunikasi kelompok yaitu kecenderungan anggota kelompok dalam memilih pelajaran yang mereka kehendaki, membuat komunikasi terhambat.

 

Kata Kunci: Hambatan Komunikasi, Bimbingan Belajar, Kelompok Kecil.

 

Pendahuluan

Salah satu unsur dari komunikasi adalah hambatan (barriers). Pada penelitian serupa sebelumnya yang dilakukan oleh Rokhmat (2020) menyatakan bahwa perlu adanya media pembelajaran untuk memperlancar penyampaian komunikasi antara guru dan santri. Hal ini dikarenakan pada penyampaian pesan tersebut, sering terjadi hambatan yang mengakibatkan pesan dalam pembelajaran kurang diterima sebagaimana yang dimaksudkan oleh penyampai pesan (guru).

 

Sedianya proses pembimbingan belajar harus berada dalam kondisi yang tenang. Kondisi demikian berbanding terbalik dengan kondisi pembimbingan belajar yang berada di perum Gcc Cikarang Utara Bekasi Jawa Barat. Setiap anak dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil yang dikategorikan berdasarkan jenjang sekolah formal mereka. Mulai dari kelompok kelas PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) usia 3-5 tahun, kelompok jilid I – VI Sekolah Dasar (SD), dan kelompok TPQ. Setiap kelompok dibimbing oleh satu orang tutor dengan 3-5 anak per kelompoknya. Setiap kelompok melakukan aktivitas bimbingan belajar di satu tempat secara bersamaan. Tempat tersebut berukuran kira-kira 7 x 4 meter persegi lost tanpa sekat. Kondisi bertambah menjadi kompleks, ketika melihat lokasi tempat bimbingan belajar yang berada tepat di area selasar masjid. Kondisi ini membuat suasana kurang nyaman terlebih pabila masuk waktu sholat dan lalu lalang santri kurang terkontrol suara sangat gaduh saling bersautan antar pengajar yang satu dengan pengajar lainnya terlebih pada saat mulai KBM baca giliran nunggu baca jilid yang lain berhamburran keluar dan lati-larian.

 

Berdasaran hasil pra observasi yang peneliti lakukan, terdapat beberapa hambatan dalam komunikasi saat tutor menjelaskan materi pelajaran kepada anak-anak tersebut. Salah satunya saat tutor kelompok kelas jilid 3 hingga kelas Al Qur’an, yang sedang mengajar

Berkumpul jadi satu, terlihat ekspresi wajah anak-anak tersebut yang mengisyaratkan ketidakpahaman terhadap apa yang diajarkan tutor kepada mereka. Sehingga tutor menjelaskan kembali dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti anak-anak dengan menggunakan stik mirip stik dram  menggunakan bahasa gerak titian murotal secara teratur. Setelah itu, anak-anak kemudian menyimak fengan seksama tanpa terdengar satu pun dari santri berbicara sendiri dan lari-larian.

 

Komunikasi yang terjadi antara tutor dengan kelompok anak PAUD hingga beranjak masuk jilid VI ini tergolong sebagai komunikasi kelompok kecil. Menurut DeVito (2011, p. 336), salah satu karakteristik kelompok kecil adalah sekumpulan perorangan, jumlahnya cukup kecil sehingga semua anggota bisa berkomunikasi dengan mudah sebagai pengirim maupun penerima.

 

Sedangkan Mulyana (2007: p. 82) menambahkan komunikasi kelompok biasanya merujuk pada komunikasi yang dilakukan kelompok kecil (small group communication), jadi bersifat tatap muka. Umpan balik dari seorang peserta dalam komunikasi kelompok masih bisa di identifikasi dan ditanggapi langsung oleh peserta lainnya.

 

DeVito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (2009, p. 11-13), dalam salah satu elemen komunikasi interpersonal yaitu hambatan(barriers). Secara teknis, hambatan adalah hal apapun yang dapat mendistorsi pesan, apapun yang menghalangi penerima dalam menerima pesan. Ada empat tipe hambatan. Sangat penting artinya untuk mengidentifikasi tipe-tipe hambatan dan ketika memungkinkan, untuk mengurangi efek hambatan tersebut. Hambatan fisik, hambatan fisiologi, hambatan psikologi, dan hambatan semantik. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam komunikasi, terdapat berbagai macam hambatan yang dapat merusak komunikasi itu sendiri.

 

Bagaimanakah hambatan-hambatan komunikasi dalam aktivitas bimbingan belajar antara tutor dengan kelompok anak kelas PAUD hingga menjelang jilid VI.

 

 

Tinjauan Pustaka

Hambatan Komunikasi 

Effendy (2003, p. 45) menyatakan bahwa beberapa ahli komunikasi menyatakan bahwa tidaklah mungkin seseorang melakukan komunikasi yang sebenarbenarnya efektif. Ada banyak hambatan yang dapat merusak komunikasi. DeVito (2009: p. 11-14) menyatakan bahwa hambatan komunikasi memiliki pengertian bahwa segala sesuatu yang dapat mendistorsi pesan, hal apapun yang menghalangi penerima menerima pesan. Ada empat bentuk hambatan komunikasi yaitu hambatan fisik (Physical Barriers), hambatan fisiologis (Physiological Barriers), hambatan psikologis (Psychological Barriers), dan hambatan semantik (Semantic Barriers).

Komunikasi Kelompok Kecil

Effendy (2000, p. 76) berpendapat bahwa komunikasi kelompok kecil (Small group communication) merupakan komunikasi yang ditujukan kepada kognisi komunikan dan prosesnya berlangsung secara dialogis. Myers & Anderson (2008, p. 7) menyatakan bahwa komunikasi kelompok kecil didefinisikan sebagai tiga orang atau lebih orang yang bekerja dengan saling bergantung satu sama lain untuk tujuan memenuhi sebuah tugas.

 

Metode

Konseptualisasi Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal. Studi kasus merupakan sebuah penelitian empiris yang menyelidiki fenomena yang sedang berlangsung secara mendalam pada konteks kehidupan tertentu terutama ketika batasan-batasan antara fenomena dan konteks tidak terlalu jelas (Yin, 2009, p.18).

 

Subjek Penelitian

Subjek penelitian diambil menggunakan purposive sampling. Purposive sampling merupakan kategori sampling yang biasa disebut judgemental sampling. Ketika menggunakan purposive sample, peneliti menggunakan pengetahuan khusus atau keahlian mengenai beberapa kelompok untuk memilih subyek yang merepresentasikan populasi (Berg & Lune, 2012, p.52). Subjek dalam penelitian ini adalah tutor kelompok TPQ dengan anggota kelompok kelas perjilid. Jelaskan mengenai populasi, sampling dan teknik pengambilan sampling dalam satu paragraf ini. Jangan lupa sebutkan mengenai jumlah populasi dan samplingnya. Jika memakai metode kualitatif, silahkan jelaskan mengenai sasaran penelitian dan unit analisis. Bahkan, kriteria informan (jika menggunakan).

 

Analisis Data

Menurut Huberman dan Miles (1994) dalam Berg & Lune (2012, p.55-56) menjelaskan bahwa  analisis data terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan/verifikasi. Peneliti melakukan triangulasi teori dari DeVito mengenai hambatan komunikasi secara bersamaan ketika melakukan analisis data.

 

Temuan Data

Hambatan Fisik

Hambatan fisik didominasi oleh suasana ramai yang disebabkan oleh kehadiran anak-anak dari kelompok kelas lain. Ragam usia yang berbeda mengakibatkan anak-anak peserta bimbel susah untuk diatur. Jumlah tutor dan volunter yang tidak sebanding dengan jumlah anak juga turut menjadi hambatan. Adapun anak-anak dari kelompok kelas lain juga tampak sering mengganggu dengan mengajak bicara ataupun bercanda dengan tutor dan anggota kelompok kelas  PAUD kelas atau jilid lainnya .

 

Hambatan Fisiologi

Hambatan fisiologi terlihat saat antara tutor dengan anggota kelompok kelas PAUD hingga jilid Vl kesulitan mendengar suara satu sama lain sehingga sering ditemukan mereka saling berteriak. Teriakan-teriakan ini merupakan bentuk hambatan fisiologi yang dapat menghambat isi pesan yang dikomunikasikan.

Hambatan Psikologi

Hambatan psikologi nampak pada konsentrasi tutor dan anggota kelompok kelas jilid TPQ yang tidak fokus. Seperti suka bercanda ketika di tengah-tengah bimbel, tidak memperhatikan satu sama lain, emosi mood yang labil, perasaan bosan terhadap pelajaran, kecenderungan anggota kelompok kelas jilid TPQ terhadap suatu pelajaran tertentu dan menolak materi pelajaran lain.

 

Hambatan Semantik

Hambatan ini nampak ketika terjadinya kesalahan pemahaman persepsi di antara tutor dengan anggota kelompok kelas jilid TPQ madrasah. Kesalahan pemaknaan game contohnya, game dimaksudkan oleh tutor untuk mencairkan suasana, menarik perhatian anak-anak kelompok jilid TPQ agar mau belajar. Namun, yang terjadi adalah anak-anak kelompok justru memanfaatkannya untuk bermain dan tidak mau belajar.

 

Analisis dan Interpretasi

Hambatan komunikasi dalam penelitian ini terjadi dalam aktivitas bimbingan belajar antara tutor dengan kelompok TPQ.

 

Situasi tempat bimbel yang tidak kondusif

Dalam satu kali pertemuan bimbel terdapat 3 kelompok kelas yang melaksanakan aktivitas bimbel. Kelompok-kelompok kelas tersebut terdiri atas kelompok kelas PAUD (anak usia belum sekolah sampai kelas TK), kelompok kelas jilid I –VI dan kelompok kelas SMP. Jumlah anak yang hadir dalam satu kali pertemuan bimbel berkisar kurang lebih 40 anak yang terbagi dalam 8 kelompok kelas tersebut. Pertemuan bimbel dilaksanakan di tempat yang berukuran kurang lebih 7 x 4 meter persegi (panjang dikali lebar) dengan tinggi kurang lebih 3,5 meter persegi. Ukuran ruangan tersebut dipadati oleh sekitar 40 anak dan 15 pengajar (8 tutor, 7 volunteer). Pada observasi keempat tanggal 21 Juni 2015, Vira terlihat mengipas wajahnya ketika sedang mendengarkan Adit berbicara. Hambatan ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh DeVito (2009, p. 12-14) yang menyatakan bahwa hambatan fisik meliputi segala aktivitas eksternal yang mengganggu penyampaian pesan di antara komunikator dan komunikan.

 

Kehadiran anak-anak bimbel dari kelompok kelas lain menjadi pemicu aktivitas eksternal yang menghambat aktivitas bimbel kelompok kelas jilid yang dibimbing oleh Agus Salim. Anak-anak tersebut dapat secara mudah mengganggu kelompok kelas lain untuk sekadar bermain, berbicara maupun bercanda.

 

Keadaan Psikologis Tutor dan Anggota Kelompok

Faktor internal seseorang mempengaruhi bagaimana bimbel berlangsung. Faktor internal seseorang merupakan keadaan psikologis seseorang. ini tampak dialami Nadia ketika berkomunikasi adalah melamun.

 

Dalam temuan data ini, ketika dikonfirmasi kepada Nadia, Nadia tidak menyadari bahwa mengapa ia suka melamun ketika mengikuti bimbel. Adit menambahkan bahwa Nadia merupakan anak di kelompoknya yang paling sering diam, tidak aktif bertanya, maupun kesulitan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Vivi dan Vira juga beberapa kali menegur Nadia karena terlalu diam (pasif). Pada saat Nadia diam, ia tampak sedang melamun atau melihat objek lain dengan sorot mata kosong. Secara tidak sadar, Nadia memberikan sinyal bahwa ia belum siap untuk berinteraksi di dalam kelompok sehingga hal ini mengakibatkan interaksi antara Nadia dengan Adit dan kedua temannya berkurang.

 

Hambatan psikologis lain yang nampak dalam aktivitas bimbel kelompok kelas jilid TPQ yang dibimbing oleh Agus Salim adalah keinginan bercanda yang terlalu sering. Adit maupun ketiga anaknya sering mengajak bercanda satu sama lain. Faktor ini yang membuat Vira, Vivi, dan Nadia ingin tetap diajar oleh Agus Salim  di jenjang kelas berikutnya. Namun, hal tersebut membuatnya kehilangan fokus untuk mengajar mereka melainkan hanya unuk bercanda dan menghibur mereka.

 

Keinginan bercanda pada kelompok kelas jilid TPQ ini sejalan dengan pendapat DeVito (1997: p. 203) yang menyatakan bahwa salah satu bahasa sentuhan (touch communication)adalah bercanda. Bercanda memiliki makna bahwa sentuhan seringkali mengkomunikasikan keinginan kita untuk bercanda, dengan perasaan kasih sayang ataupun secara agresif. Bila kita mengkomunikasikan afeksi atau agresi dengan cara bercanda, emosi akan kendur dan ini mengisyaratkan kepada orang lain untuk tidak memandangnya terlalu serius. Sentuhan canda memeriahkan interaksi.

 

Dalam komunikasi kelompok, Agus Salim sebagai pemimpin kelompok memiliki fungsi. Sebagai seorang pemimpin kelompok, Agus Salim perlu menjaga suasana di dalam kelompoknya tetap berorientasi kepada tugas dan tujuan kelompok. Namun, Agus Salim juga perlu membiarkan adanya hal-hal topik pembicaraan lain seperti bercanda di dalam proses komunikasi kelompok dengan intensitas yang tidak terlalu sering atau lama. Misalnya ketika ketiga anak bimbingnya sedang berbicara sendiri satu sama lain, Agus Salim perlu untuk menegur mereka supaya kembali pada jalur pembicaraan mengenai topik pelajaran. Namun juga sesekali perlu untuk membiarkan mereka berbicara di luar konteks pelajaran agar proses komunikasi tidak kaku.

 

Fungsi Agus Salim sebagai pemimpin kelompok sejalan dengan pendapat DeVito (1997:

p. 329-330) yang menyatakan bahwa salah satu fungsi pemimpin kelompok adalah menjaga para anggotanya berada pada jalurnya. Banyak orang yang bersifat egosentris dan hanya akan memaksakan keinginan dan masalah mereka sendiri. Dalam hal inilah diperlukan peran pemimpin untuk mengarahkan para anggotanya tetap berada pada jalur pembahasan. Selain itu pemimpin kelompok memiliki fungsi untuk memastikan kepuasan anggota. Para anggota memiliki kebutuhan dan keinginan psikologis yang berbeda, dan banyak memasuki kelompok justru karena kebutuhan dan keinginan ini. Salah satu cara untuk memastikan kebutuhan ini bagi pemimpin adalah mengizinkan adanya komentar yang menyimpang dan pribadi, dengan asumsi komentar itu tidak terlalu sering atau terlalu lama.

 

Dalam berkomunikasi dengan ketiga anak bimbingannya, Agus Salim menunjukkan sikap yang humoris, empatik dan peduli kepada mereka sehingga ketiga anak bimbelnya nyaman dan tertarik mengikuti kelompok. Namun sifat komunikasi ini seharusnya hanya dipergunakan untuk menarik minat anak-anak yang ia bimbing, bukan sebagai tujuan utama komunikasinya. Sifat komunikasi tersebut hanyalah alat yang digunakan supaya dapat mencapai tujuan komunikasi yang sudah ditetapkan. 

Tujuan komunikasi kelompok kelas bimbel menurut Rokhmat, ketua tutor adalah untuk membuat anak-anak bimbel menjadi lebih pintar dalam hal akademis sehingga mereka dapat memiliki masa depan yang lebih baik daripada orang tua mereka. Tujuan ini sejalan dengan pendapat Naim (2011: p. 118) yang menyebutkan bahwa visi memberikan manfaat bagi guru untuk diterjemahkan dalam aksi nyata. Agus Salim seharusnya fokus pada visi yang dinyatakan oleh Rokhmat terkait tujuan bimbel ini diadakan sehingga Agus Salim sebagai pemimpin kelompok tidak hanya dapat menarik perhatian mereka saja namun juga dapat membimbing mereka menjadi anak yang pintar dalam hal akademis sehingga memiliki masa depan yang lebih baik.

 

Keadaan psikologi seseorang dapat mempengaruhi pemikiran maupun tindakannya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Dalam proses komunikasi yang terjadi pada aktivitas bimbel kelompok yang dibimbing oleh Agus Salim sebagai tutor, keadaan psikologis ini dapat muncul. Adit sebagai tutor dapat memiliki prasangka maupun praduga pemikiran kepada anggota kelompok kelasnya yaitu Vivi, Vira, dan Nadia. Menurut DeVito (2009, p. 12-14), hambatan psikologis merupakan hambatan dalam sebuah komunikasi yang terjadi secara kognitif atau hambatan yang terjadi pada taraf mental individu sebagai pelaku komunikasi. Hambatan psikologis dapat berupa praduga pemikiran, pemikiran yang ke mana-mana, prasangka, pemikiran yang tertutup, dan tingkat emosional yang ekstrem. 

 

Pada observasi pertama tanggal 24 Mei 2015, ketika Agus Salim sedang mengajar materi jilid 3, ketiga anak bimbingannya tampak begitu gaduh tidak berkonsentrasi belajar. Seperti bercanda satu sama lain, menggoda Agus Salim, berbicara sendiri, maupun melamun. Respon Agus Salim sebagai tutor mereka justru nampak tidak menaruh perhatiannya secara serius kepada tindakan ketiga anak bimbingnya itu. Agus Salim cenderung membiarkan mereka melakukan apa yang mereka ingin lakukan. Ketika diwawancarai, Agus Salim menyatakan bahwa ia merasa lelah karena ketiga anak bimbingnya tidak mau belajar. Tindakan Agus Salim tersebut secara tidak langsung

VHGDQJ ‡PHQJHMHN· NHWLJD DQDN ELPELQJQ\D GHQJDQ WLGDN PHQJKLUDXNDQ pembicaraan mereka.

 

Berdasarkan letak pemukiman dan pekerjaan kedua orang tua Vivi, Vira dan Nadia, mereka merupakan anak-anak yang berasal dari keluarga berekonomi rendah. Ketika diwawancara, Agus Salim menyebutkan bahwa ketiga anaknya tersebut berasal dari keluarga kurang berada, membutuhkan kasih sayang, dan bahkan ada satu anak yang suka mengumpat apabila ia kaget yaitu Vira. Dari pernyataan Adit tersebut sebenarnya tanpa disadari ia sedang memposisikan mereka lebih rendah daripada posisinya sehingga ia sering mengacuhkan atau tidak menghiraukan mereka ketika mereka berbicara sendiri.

 

Secara psikologis, Agus Salim membangun konstruksi pesan di pikirannya bahwa ketiga anak bimbingnya merupakan perempuan dari keluarga berekonomi rendah yang pembicaraannya tidak bermakna; menggosip, mengomel, merengek, merongrong.

Ketika diwawancara, Agus Salim menyatakan bahwa ketiga anak bimbingnya memiliki perbedaan karakter. Ia menyebutkan Vivi dan Vira merupakan anak yang cerewet. Namun Vivi diakuinya lebih cerewet daripada Vira. Sedangkan Nadia diakuinya tidak banyak bicara saat bimbel. Lebih lanjut Adit menambahkan materi yang diperbincangkan ketiga anak bimbingnya hanya seputar bercanda dan menggosip sehingga ia tidak menaruh perhatian kepada perbincangan mereka.

 

Bentuk dari praduga pemikiran Agus Salim ini sejalan dengan Teori Kelompok Bungkam dari Houston dan Kramarae (dalam West & Turner, hal. 206-207: 2008) yang menyatakan bahwa anggota-anggota kelompok yang termarginalkan (berdasaran kemampuan ekonomi rendah atau gender, maupun warna kulit) dibungkam dan dianggap sebagai penutur yang tidak fasih. Selanjutnya, mereka menambahkan ada beberapa metode yang digunakan untuk mencapai kekuasaan yang berdampak pada kebungkaman. Salah satunya dengan mengejek. Mereka menyatakan bahwa

SHPELFDUDDQ           SHUHPSXDQ       GLUHPHKNDQ                      ‡3ULD        PHPEHULNDQ                    ODEHO           WHUKDGDS

pembicaraan perempuan sebagai mengoceh, menggosip, mengomel, merengek,

PHURQJURQJ +HQWLNDQ RFHKDQ LWX · 3ULD VHULQJ NDOL PHQJDWDNDQ SDGD perempuan bahwa mereka berbicara mengenai hal yang tidak bermakna.

 

Tutor berperan dalam menanggapi Hambatan Komunikasi

Dalam temuan data sebelumnya, ketiga anak bimbing Agus Salim ini menyatakan bahwa mereka ingin diajar kembali oleh Agus Salim ketika beranjak ke jilid 3. Berdasarkan pengalaman mereka selama diajar oleh Agus Salim, mereka bercerita bahwa Agus Salim merupakan kakak yang baik, suka memberi, dan lucu.

 

Keinginan ketiga anak bimbel Agus Salim ini sejalan dengan pendapat Soekartawi (1995:

p. 32-34) yang menyebutkan bahwa tutor yang mampu membuat atau memberikan humor agar siswa yang belajar tidak merasa bosan dan supaya dimaksudkan agar topik bahan ajar yang diberikan dapat diterima dengan baik. Dengan humor

PHPEXDW VXDVDQD ‡KDQJDW· DWDX ‡DNUDE· GDQ PDPSX PHQGRURQJ VLVZD XQWXN

melakukan motivasi agar siswa senang dan dapat menyerap bahan ajar dengan baik. Di sisi lain, seorang tutor juga harus mampu menyamakan persepsi dengan anggotanya. Seperti terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Sisvianda (2013) yang menyebutkan bahwa terdapat hambatan dalam komunikasi yang dialami pendamping ketika mengkomunikasikan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-Mpd) yaitu adanya perbedaan persepsi dengan sebagian masyarakat.

 

Senada dengan apa yang dikatakan oleh Agus Salim ketika diwawancarai, ia menyatakan bahwa saat mengajar tutor tidak boleh kaku, harus dapat berimprovisasi menyampaikan materi pelajaran dengan cara yang menarik perhatian minat belajar anak. Misalnya dengan membahas materi pelajaran melalui games. Dalam hal ini Agus Salim mencoba untuk menyamakan persepsinya dengan persepsi ketiga anak bimbelnya dengan cara bersikap tidak kaku, berimprovisasi dalam menyampaikan pesan. Persepsi ketiga anak bimbingannya ini menganggap bimbel sebagai tempat untuk bercanda, bermain, bebas berteriak. Terlihat saat ketiga anak bimbel Agus Salim yang ditanya, mereka menyebutkan bahwa mereka suka ke tempat bimbel karena di tepat bimbel dapat bercanda dengan Agus Salim dan mereka menyatakan bahwa Agus Salim merupakan kakak yang lucu, namun tidak pintar dengan nada bercanda.

 

Dalam hal ini, Agus Salim melakukan apa yang disebut empati oleh Naim (2011: p. 48) yang menyatakan bahwa empati adalah sesuatu yang perlu diperoleh dari orang lain sehingga komunikasi bisa efektif karena ada kesamaan sudut pandang antara komunikator dan komunikan. Agus Salim sebagai komunikator berusaha menyamakan sudut pandang mengenai belajar dengan komunikannya yaitu ketiga anak bimbingnya. Terlihat ketika pada observasi pertama tanggal 24 Mei 2015. Ketika itu Agus Salim sedang berusaha membujuk ketiga anak bimbingannya agar mau belajar materi jilid 3. Namun, ketiga anak bimbing Agus Salim menolak untuk belajar. Mereka mendesak Agus Salim agar bimbel diisi dengan bermain bukan untuk belajar sehingga Agus Salim menyiasati dengan menyusupkan materi jilid 3 ke dalam game.

 

Anak menolak Pesan yang tidak disukai dalam Bimbel

Materi pelajaran yang paling disukai oleh ketiga anak bimbel Agus Salim adalah bercerita. Hal ini menjadi persoalan bagi Agus Salim karena ketiga anaknya sering menolak belajar apabila ia tidak mengajarkan pelajaran materi bercerita. Ketika Agus Salim mengajar materi pelajaran bercerita, ketiga anak bimbingnya lebih mau untuk berkonsentrasi dan aktif belajar. Sementara apabila bukan pelajaran bercerita, mereka cenderung berusaha mengalihkan perhatian Agus Salim dengan mengajaknya bercanda, bermain, berbicara, bahkan mereka tidak segan suka meneriaki Agus Salim.

 

Hambatan yang muncul ketika Vivi, Vira, dan Nadia menolak pesan yang hendak disampaikan oleh Agus Salim. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketiga anak bimbing Agus Salim berani menolak pesan materi pelajaran yang hendak disampaikan oleh Agus Salim sebagai tutor mereka adalah karena kohesi kelompok yang tinggi. Menurut McDavid dan Harari (dalam Rakhmat, 1991: p. 163-164) menyatakan bahwa kohesi kelompok diukur dari ketertarikan anggota secara interpersonal pada satu sama lain, ketertarikan anggota pada kegiatan dan fungsi kelompok dan sejauh mana anggota tertarik pada kelompok sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan personalnya. Sementara itu, Cragan, Kasch, & Wright (2009: p. 9-18) menambahkan salah satu karakteristik kelompok kecil adalah time. Beberapa orang sudah saling berkomunikasi sebelum mereka menjadi sebuah kelompok.

 

Hubungan antara Vivi, Vira, dan Nadia sudah terjalin erat sejak sebelum Agus Salim menjadi tutor mereka di kelompok jilid TPQ pada awal tahun 2015. Vivi dan Nadia merupakan teman satu sekolah. Sedangkan rumah Vira dan Vivi berdekatan. Hal ini membuat ketiga anak bimbel Agus Salim memiliki hubungan pertemanan yang akrab. Hal ini membuat mereka memiliki semangat kelompok yang tinggi, hubungan interpersonal yang akrab, kesetiakawanan, dan perasaan

‡NLWD· \DQJ GDODP +DO LQL \DQJ PHQGRURQJ DQJJRWD NHORPSRN XQWXN LNXW ELPEHO

 

Salah satu implikasi dari komunikasi kelompok yang kohesif menurut Bettinghaus (dalam Rakhmat, 1991: p. 164-165) terkait konteks pesan merupakan ancaman kepada kelompok, kelompok yang lebih kohesif akan lebih cenderung menolak pesan dibandingkan dengan kelompok yang tingkat kohesinya rendah. Pesan yang


 

berupa materi pelajaran di luar cerita. Sehingga ketiga anak bimbing Agus Salim yang merasa sudah nyaman berada di dalam kelompok kelas jilid TPQ dapat mudah menolak pesan yang tidak dikehendaki oleh mereka. Hal ini menjadi hambatan dalam komunikasi yang dialami Agus Salim ketika hendak mengajar materi selain matematika.

 

Simpulan

Terkait hambatan komunikasi dalam aktivitas bimbingan belajar (bimbel) antara tutor dengan kelompok anak kelas jilid TPQ di perum Gcc Masjid Al Amin, tidak terdapat hambatan komunikasi antara anak yang bersekolah formal sekaligus juga mengamen dengan anak yang bersekolah formal saja. Lingkungan fisik di tempat bimbel, keadaan psikologis, dan penolakan pesan dari anggota kelompok, menjadi hambatan dalam komunikasi kelompok kelas jilid. Lingkungan fisik di tempat bimbel seperti kehadiran anak-anak dari kelompok kelas usia PAUD sampai kelompok kelas jilid TPQ membuat suasana menjadi gaduh. Suasana gaduh ini membuat komunikasi antara tutor dengan ketiga anak kelompok kelas jilid TPQ menjadi terhambat. 

 

Setting tempat bimbel juga turut menjadi faktor yang dapat menghambat komunikasi dalam aktivitas bimbel kelompok kelas jilid TPQ. Di dalam tempat bimbel, antar kelompok kelas dipisahkan hanya berdasarkan tempat duduk kelompok masing-masing tanpa penyekat. Hal ini membuat anak-anak dari kelompok kelas lain memiliki akses yang leluasa untuk dapat berlari, bermain, mengganggu kelompok kelas lain, dan sebagainya.

 

Keadaan psikologis anggota dan tutor kelompok kelas jilid TPQ turut memainkan peranan penting dalam aktivitas bimbel yang dilaksanakan. Pertama tampak dari sorot mata. Anggota yang memiliki ketertarikan dengan tutornya cenderung akan melakukan kontak mata. Apabila anggota jarang melakukan kontak mata, hal tersebut mengisyaratkan bahwa ia secara sengaja ataupun tidak, sedang mengurangi kemungkinan untuk berinteraksi atau bahkan belum siap untuk berinteraksi dengan tutor maupun anggota yang lain. Hal ini perlu diperhatikan oleh para tutor sehingga tutor dapat mencari cara agar anak-anak yang ia bimbing mau untuk berinteraksi dengan satu sama lain.

 

Salah satu bentuk dari situasi psikologis seseorang adalah keinginan untuk bercanda. Dengan bercanda, suasana bimbel di dalam kelompok menjadi cair; tidak kaku. Namun apabila intensitas bercanda di dalam kelompok lebih banyak daripada membahas materi topik pelajaran dapat membuat konteks komunikasi menjadi teralihkan ke topik candaan.

 

Prasangka atau praduga pemikiran yang salah membuat komunikasi terhambat. Misalnya pemikiran tutor yang meremehkan atau menganggap anak bimbingannya lebih rendah daripada dia dan menganggap perbincangan mereka sebagai hal yang tidak penting. Pemikiran tersebut membuat tutor secara tidak sadar akan tidak menyimak apa yang diperbincangkan oleh anak yang dibimbingnya. Dampak dari hal ini adalah anak mengalami kesulitan untuk terbuka menceritakan pengalaman mereka kepada tutornya.

Kehadiran tutor kelompok kelas lain dan sanak saudara anggota kelompok dapat menghambat komunikasi aktivitas bimbel kelompok kelas jilid TPQ. Hubungan yang dekat antar tutor membuat mereka dapat saling berbicara maupun bercanda satu sama lain. Selain itu kehadiran sanak saudara membuat anggota kelompok tidak dapat berkonsentrasi penuh kepada aktivitas bimbel. Konsentrasi anggota kelompok terbagi karena di satu sisi mereka harus belajar dan di sisi lain mereka harus menjaga sanak saudaranya.

 

Topik materi pelajaran tertentu menjadi salah satu hal yang menghambat komunikasi kelompok kelas jilid TPQ di perum Gcc Masjid Al amin Cikarang Bekasi. Terlihat ketika anggota lebih menyukai materi pelajaran tertentu. Hal ini membuat mereka cenderung untuk menolak belajar ketika bukan materi pelajaran yang disukai oleh mereka. Adapun buku materi pelajaran sekolah tematik menjadi faktor penghambat tutor ketika mengajar anggotanya.

Pertama yang perlu diperhatikan adalah antar anak dalam kelompok memiliki field of experience dan yang berbeda. Antara anak satu dengan yang lainnya memiliki pengalaman berbeda-beda. Pengalaman komunikasi mereka khususnya dapat mempengaruhi bagaimana mereka berkomunikasi sekarang.

 

Daftar Referensi

Berg & Lune. (2012). Qualitative Research Methods for the Social Sciences.Unites States of America: Pearson Education, Inc.

 

Cragan, Kasch, Wright. (2009). Communication in Small Groups: Theory, Process, Skills,  International Student Edition. Boston: WadsworthCengage Learning

 

DeVito, Joseph A. (2011). Komunikasi Antarmanusia (alih bahasa: Ir. AgusMaulana M.S.M.). Tangerang: Karisma Publishing Group.

 

Effendy, Onong. U. (2000). Ilmu, teori dan filsafat komunikasi. Bandung : PTCitra Aditya Bakti.

 

Effendy, Onong. U. (2003). Ilmu, teori dan filsafat komunikasi. Bandung : PTCitra Aditya Bakti.

 

Mulyana, Deddy. (2007). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PTRemaja Rosdakarya

 

Myers & Anderson. (2008). The Fundamentals of Small Group Communications. United States of America: Sage Publication, Inc.

 

Naim, Ngainun. (2011). Dasar-dasar Komunikasi Pendidikan. Jogjakarta: ArRuzz Media.

 

Rahman, Aisyah A. (2011). Penggunaan Media Gambar dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa

Kelas VI SD Negeri I Peusangan Bireuen Aceh.Madrasah, Vol. 3 No. 2 Januari-Juni 2011

 

Rakhmat, J. (1991). Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung: PT RemajaRosdakarya.

Pimpinan Pusat Majelis Pembina Taman Pendidikan Al Qur’an An Nahdliyah (2008) PEDOMAN PENGELOLAAN TAMAN PENDIDIKAN ALQUR’AN METODE CEPAT TANGGAP BELAJAR AL QUR’AN AN NAHDLIYAH. Tulung Agung Pimpinan Pusat Majelis Pembina Taman Pendidikan Al Qur’an An Nahdliyah.

 

Sisvianda, Devina K. (2013). STRATEGI KOMUNIKASI PENDAMPING PNPM-MPD DALAM UPAYA PEMBERIAN PEMAHAMAN PROGRAMKEPADA MASYARAKAT (Studi pada 

Kegiatan SPP di Desa KemuningLor, Kecamatan Arjasa-Kabupaten Jember). Universitas Brawijaya,Malang

 

Soekartawi. (1995). Meningkatkan Efektivitas Mengajar. Jakarta: PT DuniaPustaka Jaya.

Yin, Robert K. (2009). Case Study Research: Design and Methods – 4th Edition.California: SAGE Publications, Inc.

 

West, R. & Turner, L.H. (2008). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis danAplikasi, Edisi 3. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

Yodmani, S., & Hollister, D. (2001). Disasters and CommunicDWLRQ 7HFKQRORJ\ 3HUVSHFWLYHV from Asia. Second Tampere Conference on Disaster Communications (pp. 28-30) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar