Sabtu, 18 September 2021
IDBM MERDEKA PKB tanpa OMNIBUSLAW
Minggu, 22 Agustus 2021
AGENT OF CHANGE ITU INISIATIF
Oleh : Rokhmat
Agent Of Change adalah orang-orang yang punya semangat untuk mendorong seseorang serta mengilhami semangat pada orang tersebut. Perubahan itu adalah kerja keras dan tentu saja memerlukan banyak energi. Tanpa gairah dan energi maka akan sangat sulit untuk membuat perubahan di dunia ini.
Agent of change adalah adalah orang-orang yang berani menantang status quo serta dapat menyebabkan krisis dalam rangka mendukung tindakan dramatis & upaya perubahan. Agent of change memiliki kemampuan untuk merevolusi organisasi. Selanjutnya silahkan baca pengertian Agent of change hehehe.
Mahasiswa bukan sebatas obyek (cuman pendengar setia)
Mahasiswa bukan hanya penerima tugas tapi bagaimana memunculkan tugas.
Mahasiswa harus bersikap sebagai subjek, subyek dalam pemikiran, subjek dalam action.
Mahasiswa harus menjadi motor utama totalitas dalam progresifitas.
Kaum akademisi bukan di ciptakan sebagai personal yang terpedaya namun bagaimana cara memperdayakan (pemikiran dan kreatiftasmu)
Slogan mahasiswa Agent of chang itu apa yang Anda lakukan untuk perubahan?
Dan tentunya perubahan itu bukan nunggu di perintah, namun sejak kapan Anda mau memulai sebelum masuk kelas, Anda mulai dari bangun tidur perubahan apa yang akan Anda lakukan?
Anda apatis dalam progresifitas siap menerima statis tanpa kreatifitas.
Sudah menjadi paradigma hingga menjamur bagi manusia, yang penting bukan kemanusiaannya, melainkan status sosial, harta benda, dan kekuasaannya, bagi sekolah dan universitas, bukan ilmu yang penting, melainkan gelar kesarjanaannya, bukan tujuan hidup yang penting, melainkan jumlah pemilikan keduniaanya dalam beragama yang utama bukan ridha Allah, melainkan gaya kealimannya, branding keulamaan, gengsi kecendikiawan, serta keuntungan materi di dunia maupun pahala materiel di syurga dan kemuliaan melainkan kegagahan dan keunggulan.
Anda kuliah membutuhkan anggaran puluhan juta dari awal semester hingga ahir bukan hanya untuk sebatas mengambil label beberapa lembar menyandang gelar sarjana, label bisa di beli kalo tunggakan lunas juga dah beres, hemmmm paradigma ngawur, kok demen mendzolimi diri sendiri.
Tujuan Anda belajar pastinya berawal dengan niat misi yang baik, lantas seberapa besar upaya dan semangatmu menuju misi ahir yang baik. Hai Brow hidup itu ibarat buku jika tidak membuka lembaran selanjutnya maka tidak akan pernah tahu cerita apa berikutnya.
Konsumtif buku sebanyak banyaknya sebagai nutrisi utama bagi akademisi,
berapa lembar Anda membaca buku setiap hari 10 lembar, 5 lembar, 3 lembar 2 lembar atau mungkin selembar pun blasss sama sekali tidak Anda buka, zona nyaman yang bikin Anda ngawur.
Bisa jadi Anda membaca hanya di luangkan waktunya karena sangat terpaksa mendapatkan tugas bikin makalah itupun karena takut tidak mendapatkan nilai. Brow nilai yang Anda dapat kebijakan dari pemateri itu bisa di rubah tanpa perlu susah payah cukup minta form pengajuan di acc Kaprodi selesai. Ironis andalan mendapatkan nilai kebijakan pemateri yang bukan hasil perjuangan dan kerja keras dalam pencarian ilmu.
Memunculkan kecerdasan bukan sebatas penggunaan aqal dalam berfikir namun iqro'lah yang mendominasi proses dalam kecerdasan dan munculnya gagasan dalam pemikian pun iqro'lah pemeran utama.
Cikarang 24 Maret 2020
Salam Ngopi ☕ Nusantara 😅😍
Jumat, 20 Agustus 2021
Peresmian MI Ma'arif NU Syalafiyah Perum Gramapuri Persada Cibitung Bekasi
Senin, 16 Agustus 2021
Riang Gembira Semangat Merayakan Kemerdekaan RI ke 76.
Sabtu, 14 Agustus 2021
Konsolidasi LPM NU Bekasi
Sabtu, 16 Januari 2021
Jurnal Komunikasi Tutor dan Peserta Didik
JURNAL
Hambatan Komunikasi dalam Aktivitas Bimbingan Belajar antara Tutor
dengan Peserta Didik TPQ.
Rokhmat, Semester 5 C Prodi PAI STAI Haji Agus
Salim Cikarang Bekasi.
rokhmatgroover@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh
gambaran mengenai hambatan komunikasi dalam aktivitas bimbingan belajar antara
tutor dengan kelompok anak TPQ . Peneliti menggunakan studi kasus sebagai
metode penelitian dan observasi non-partisipan dan wawancara dengan informan
penelitian sebagai teknik pengumpulan data.
Hasil penelitian menunjukkan tidak
terdapat perbedaan antara anggota kelompok yang bersekolah nonformal sekaligus karyawan
dengan anggota yang bersekolah formal saja. Dalam hambatan komunikasi yang
dikemukakan oleh beberapa personil, hambatan fisik dalam konteks situasi tempat
bimbel yang tidak kondusif dan hambatan psikologis yang menghambat komunikasi
kelompok. Selain itu terdapat hambatan lain dalam komunikasi kelompok yaitu
kecenderungan anggota kelompok dalam memilih pelajaran yang mereka kehendaki,
membuat komunikasi terhambat.
Kata Kunci: Hambatan Komunikasi, Bimbingan Belajar, Kelompok
Kecil.
Pendahuluan
Salah satu unsur dari komunikasi adalah hambatan (barriers). Pada penelitian serupa
sebelumnya yang dilakukan oleh Rokhmat (2020) menyatakan bahwa perlu adanya
media pembelajaran untuk memperlancar penyampaian komunikasi antara guru dan santri.
Hal ini dikarenakan pada penyampaian pesan tersebut, sering terjadi hambatan
yang mengakibatkan pesan dalam pembelajaran kurang diterima sebagaimana yang
dimaksudkan oleh penyampai pesan (guru).
Sedianya proses pembimbingan belajar harus berada dalam kondisi
yang tenang. Kondisi demikian berbanding terbalik dengan kondisi pembimbingan
belajar yang berada di perum Gcc Cikarang Utara Bekasi Jawa Barat. Setiap anak
dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil yang dikategorikan berdasarkan jenjang
sekolah formal mereka. Mulai dari kelompok kelas PAUD (Pendidikan Anak Usia
Dini) usia 3-5 tahun, kelompok jilid I – VI Sekolah Dasar (SD), dan kelompok TPQ.
Setiap kelompok dibimbing oleh satu orang tutor dengan 3-5 anak per
kelompoknya. Setiap kelompok melakukan aktivitas bimbingan belajar di satu
tempat secara bersamaan. Tempat tersebut berukuran kira-kira 7 x 4 meter
persegi lost tanpa sekat. Kondisi bertambah menjadi kompleks, ketika melihat
lokasi tempat bimbingan belajar yang berada tepat di area selasar masjid. Kondisi
ini membuat suasana kurang nyaman terlebih pabila masuk waktu sholat dan lalu
lalang santri kurang terkontrol suara sangat gaduh saling bersautan antar
pengajar yang satu dengan pengajar lainnya terlebih pada saat mulai KBM baca giliran
nunggu baca jilid yang lain berhamburran keluar dan lati-larian.
Berdasaran hasil pra observasi yang peneliti lakukan,
terdapat beberapa hambatan dalam komunikasi saat tutor menjelaskan materi
pelajaran kepada anak-anak tersebut. Salah satunya saat tutor kelompok kelas jilid
3 hingga kelas Al Qur’an, yang sedang mengajar
Berkumpul jadi satu, terlihat ekspresi
wajah anak-anak tersebut yang mengisyaratkan ketidakpahaman terhadap apa yang
diajarkan tutor kepada mereka. Sehingga tutor menjelaskan kembali dengan bahasa
yang lebih mudah dimengerti anak-anak dengan menggunakan stik mirip stik dram menggunakan bahasa gerak titian murotal secara
teratur. Setelah itu, anak-anak kemudian menyimak fengan seksama tanpa
terdengar satu pun dari santri berbicara sendiri dan lari-larian.
Komunikasi yang terjadi antara tutor dengan kelompok anak PAUD
hingga beranjak masuk jilid VI ini tergolong sebagai komunikasi kelompok kecil.
Menurut DeVito (2011, p. 336), salah satu karakteristik kelompok kecil adalah
sekumpulan perorangan, jumlahnya cukup kecil sehingga semua anggota bisa
berkomunikasi dengan mudah sebagai pengirim maupun penerima.
Sedangkan Mulyana (2007: p. 82) menambahkan komunikasi kelompok
biasanya merujuk pada komunikasi yang dilakukan kelompok kecil (small group communication), jadi
bersifat tatap muka. Umpan balik dari seorang peserta dalam komunikasi kelompok
masih bisa di identifikasi dan ditanggapi langsung oleh peserta lainnya.
DeVito dalam bukunya The
Interpersonal Communication Book (2009, p. 11-13), dalam salah satu elemen
komunikasi interpersonal yaitu hambatan(barriers).
Secara teknis, hambatan adalah hal apapun yang dapat mendistorsi pesan,
apapun yang menghalangi penerima dalam menerima pesan. Ada empat tipe hambatan.
Sangat penting artinya untuk mengidentifikasi tipe-tipe hambatan dan ketika
memungkinkan, untuk mengurangi efek hambatan tersebut. Hambatan fisik, hambatan
fisiologi, hambatan psikologi, dan hambatan semantik. Berdasarkan uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa dalam komunikasi, terdapat berbagai macam hambatan
yang dapat merusak komunikasi itu sendiri.
Bagaimanakah hambatan-hambatan komunikasi dalam aktivitas
bimbingan belajar antara tutor dengan kelompok anak kelas PAUD hingga menjelang
jilid VI.
Tinjauan Pustaka
Hambatan Komunikasi
Effendy (2003, p. 45) menyatakan bahwa beberapa ahli
komunikasi menyatakan bahwa tidaklah mungkin seseorang melakukan komunikasi
yang sebenarbenarnya efektif. Ada banyak hambatan yang dapat merusak
komunikasi. DeVito (2009: p. 11-14) menyatakan bahwa hambatan komunikasi
memiliki pengertian bahwa segala sesuatu yang dapat mendistorsi pesan, hal
apapun yang menghalangi penerima menerima pesan. Ada empat bentuk hambatan komunikasi
yaitu hambatan fisik (Physical Barriers),
hambatan fisiologis (Physiological
Barriers), hambatan psikologis (Psychological
Barriers), dan hambatan semantik (Semantic
Barriers).
Komunikasi Kelompok Kecil
Effendy (2000, p. 76) berpendapat bahwa komunikasi kelompok
kecil (Small group communication) merupakan
komunikasi yang ditujukan kepada kognisi komunikan dan prosesnya berlangsung
secara dialogis. Myers & Anderson (2008, p. 7) menyatakan bahwa komunikasi
kelompok kecil didefinisikan sebagai tiga orang atau lebih orang yang bekerja
dengan saling bergantung satu sama lain untuk tujuan memenuhi sebuah tugas.
Metode
Konseptualisasi Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus
tunggal. Studi kasus merupakan sebuah penelitian empiris yang menyelidiki
fenomena yang sedang berlangsung secara mendalam pada konteks kehidupan
tertentu terutama ketika batasan-batasan antara fenomena dan konteks tidak
terlalu jelas (Yin, 2009, p.18).
Subjek Penelitian
Subjek penelitian diambil menggunakan purposive sampling. Purposive sampling merupakan kategori sampling yang biasa disebut judgemental sampling. Ketika menggunakan
purposive sample, peneliti
menggunakan pengetahuan khusus atau keahlian mengenai beberapa kelompok untuk
memilih subyek yang merepresentasikan populasi (Berg & Lune, 2012, p.52).
Subjek dalam penelitian ini adalah tutor kelompok TPQ dengan anggota kelompok
kelas perjilid. Jelaskan mengenai populasi, sampling dan teknik pengambilan
sampling dalam satu paragraf ini. Jangan lupa sebutkan mengenai jumlah populasi
dan samplingnya. Jika memakai metode kualitatif, silahkan jelaskan mengenai
sasaran penelitian dan unit analisis. Bahkan, kriteria informan (jika
menggunakan).
Analisis Data
Menurut Huberman dan Miles (1994) dalam Berg & Lune
(2012, p.55-56) menjelaskan bahwa
analisis data terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan/verifikasi.
Peneliti melakukan triangulasi teori dari DeVito mengenai hambatan komunikasi
secara bersamaan ketika melakukan analisis data.
Temuan Data
Hambatan Fisik
Hambatan fisik didominasi oleh suasana ramai yang
disebabkan oleh kehadiran anak-anak dari kelompok kelas lain. Ragam usia yang
berbeda mengakibatkan anak-anak peserta bimbel susah untuk diatur. Jumlah tutor
dan volunter yang tidak sebanding dengan jumlah anak juga turut menjadi
hambatan. Adapun anak-anak dari kelompok kelas lain juga tampak sering mengganggu
dengan mengajak bicara ataupun bercanda dengan tutor dan anggota kelompok kelas
PAUD kelas atau jilid lainnya .
Hambatan Fisiologi
Hambatan fisiologi terlihat saat antara tutor dengan
anggota kelompok kelas PAUD hingga jilid Vl kesulitan mendengar suara satu sama
lain sehingga sering ditemukan mereka saling berteriak. Teriakan-teriakan ini
merupakan bentuk hambatan fisiologi yang dapat menghambat isi pesan yang
dikomunikasikan.
Hambatan Psikologi
Hambatan psikologi nampak pada konsentrasi tutor dan
anggota kelompok kelas jilid TPQ yang tidak fokus. Seperti suka bercanda ketika
di tengah-tengah bimbel, tidak memperhatikan satu sama lain, emosi mood yang labil, perasaan bosan terhadap
pelajaran, kecenderungan anggota kelompok kelas jilid TPQ terhadap suatu
pelajaran tertentu dan menolak materi pelajaran lain.
Hambatan Semantik
Hambatan ini nampak ketika terjadinya kesalahan pemahaman
persepsi di antara tutor dengan anggota kelompok kelas jilid TPQ madrasah.
Kesalahan pemaknaan game contohnya, game dimaksudkan oleh tutor untuk
mencairkan suasana, menarik perhatian anak-anak kelompok jilid TPQ agar mau
belajar. Namun, yang terjadi adalah anak-anak kelompok justru memanfaatkannya
untuk bermain dan tidak mau belajar.
Analisis dan Interpretasi
Hambatan komunikasi dalam penelitian ini terjadi dalam
aktivitas bimbingan belajar antara tutor dengan kelompok TPQ.
Situasi tempat bimbel yang tidak kondusif
Dalam satu kali pertemuan bimbel terdapat 3 kelompok kelas
yang melaksanakan aktivitas bimbel. Kelompok-kelompok kelas tersebut terdiri
atas kelompok kelas PAUD (anak usia belum sekolah sampai kelas TK), kelompok
kelas jilid I –VI dan kelompok kelas SMP. Jumlah anak yang hadir dalam satu
kali pertemuan bimbel berkisar kurang lebih 40 anak yang terbagi dalam 8
kelompok kelas tersebut. Pertemuan bimbel dilaksanakan di tempat yang berukuran
kurang lebih 7 x 4 meter persegi (panjang dikali lebar) dengan tinggi kurang
lebih 3,5 meter persegi. Ukuran ruangan tersebut dipadati oleh sekitar 40 anak
dan 15 pengajar (8 tutor, 7 volunteer).
Pada observasi keempat tanggal 21 Juni 2015, Vira terlihat mengipas wajahnya
ketika sedang mendengarkan Adit berbicara. Hambatan ini sejalan dengan apa yang
disampaikan oleh DeVito (2009, p. 12-14) yang menyatakan bahwa hambatan fisik
meliputi segala aktivitas eksternal yang mengganggu penyampaian pesan di antara
komunikator dan komunikan.
Kehadiran anak-anak bimbel dari kelompok kelas lain menjadi
pemicu aktivitas eksternal yang menghambat aktivitas bimbel kelompok kelas
jilid yang dibimbing oleh Agus Salim. Anak-anak tersebut dapat secara mudah
mengganggu kelompok kelas lain untuk sekadar bermain, berbicara maupun
bercanda.
Keadaan Psikologis Tutor dan Anggota Kelompok
Faktor internal seseorang mempengaruhi bagaimana bimbel
berlangsung. Faktor internal seseorang merupakan keadaan psikologis seseorang.
ini tampak dialami Nadia ketika berkomunikasi adalah melamun.
Dalam temuan data ini, ketika dikonfirmasi kepada Nadia,
Nadia tidak menyadari bahwa mengapa ia suka melamun ketika mengikuti bimbel.
Adit menambahkan bahwa Nadia merupakan anak di kelompoknya yang paling sering
diam, tidak aktif bertanya, maupun kesulitan dalam menjawab pertanyaan yang
diajukan padanya. Vivi dan Vira juga beberapa kali menegur Nadia karena terlalu
diam (pasif). Pada saat Nadia diam, ia tampak sedang melamun atau melihat objek
lain dengan sorot mata kosong. Secara tidak sadar, Nadia memberikan sinyal
bahwa ia belum siap untuk berinteraksi di dalam kelompok sehingga hal ini
mengakibatkan interaksi antara Nadia dengan Adit dan kedua temannya berkurang.
Hambatan psikologis lain yang nampak dalam aktivitas bimbel
kelompok kelas jilid TPQ yang dibimbing oleh Agus Salim adalah keinginan
bercanda yang terlalu sering. Adit maupun ketiga anaknya sering mengajak
bercanda satu sama lain. Faktor ini yang membuat Vira, Vivi, dan Nadia ingin
tetap diajar oleh Agus Salim di jenjang
kelas berikutnya. Namun, hal tersebut membuatnya kehilangan fokus untuk
mengajar mereka melainkan hanya unuk bercanda dan menghibur mereka.
Keinginan bercanda pada kelompok kelas jilid TPQ ini
sejalan dengan pendapat DeVito (1997: p. 203) yang menyatakan bahwa salah satu
bahasa sentuhan (touch communication)adalah
bercanda. Bercanda memiliki makna bahwa sentuhan seringkali mengkomunikasikan
keinginan kita untuk bercanda, dengan perasaan kasih sayang ataupun secara
agresif. Bila kita mengkomunikasikan afeksi atau agresi dengan cara bercanda,
emosi akan kendur dan ini mengisyaratkan kepada orang lain untuk tidak
memandangnya terlalu serius. Sentuhan canda memeriahkan interaksi.
Dalam komunikasi kelompok, Agus Salim sebagai pemimpin
kelompok memiliki fungsi. Sebagai seorang pemimpin kelompok, Agus Salim perlu
menjaga suasana di dalam kelompoknya tetap berorientasi kepada tugas dan tujuan
kelompok. Namun, Agus Salim juga perlu membiarkan adanya hal-hal topik
pembicaraan lain seperti bercanda di dalam proses komunikasi kelompok dengan
intensitas yang tidak terlalu sering atau lama. Misalnya ketika ketiga anak
bimbingnya sedang berbicara sendiri satu sama lain, Agus Salim perlu untuk
menegur mereka supaya kembali pada jalur pembicaraan mengenai topik pelajaran.
Namun juga sesekali perlu untuk membiarkan mereka berbicara di luar konteks
pelajaran agar proses komunikasi tidak kaku.
Fungsi Agus Salim sebagai pemimpin kelompok sejalan dengan
pendapat DeVito (1997:
p. 329-330) yang menyatakan bahwa salah satu fungsi
pemimpin kelompok adalah menjaga para anggotanya berada pada jalurnya. Banyak
orang yang bersifat egosentris dan hanya akan memaksakan keinginan dan masalah
mereka sendiri. Dalam hal inilah diperlukan peran pemimpin untuk mengarahkan
para anggotanya tetap berada pada jalur pembahasan. Selain itu pemimpin
kelompok memiliki fungsi untuk memastikan kepuasan anggota. Para anggota
memiliki kebutuhan dan keinginan psikologis yang berbeda, dan banyak memasuki
kelompok justru karena kebutuhan dan keinginan ini. Salah satu cara untuk
memastikan kebutuhan ini bagi pemimpin adalah mengizinkan adanya komentar yang
menyimpang dan pribadi, dengan asumsi komentar itu tidak terlalu sering atau
terlalu lama.
Dalam berkomunikasi dengan ketiga anak bimbingannya, Agus
Salim menunjukkan sikap yang humoris, empatik dan peduli kepada mereka sehingga
ketiga anak bimbelnya nyaman dan tertarik mengikuti kelompok. Namun sifat
komunikasi ini seharusnya hanya dipergunakan untuk menarik minat anak-anak yang
ia bimbing, bukan sebagai tujuan utama komunikasinya. Sifat komunikasi tersebut
hanyalah alat yang digunakan supaya dapat mencapai tujuan komunikasi yang sudah
ditetapkan.
Tujuan komunikasi kelompok kelas bimbel menurut Rokhmat,
ketua tutor adalah untuk membuat anak-anak bimbel menjadi lebih pintar dalam
hal akademis sehingga mereka dapat memiliki masa depan yang lebih baik daripada
orang tua mereka. Tujuan ini sejalan dengan pendapat Naim (2011: p. 118) yang
menyebutkan bahwa visi memberikan manfaat bagi guru untuk diterjemahkan dalam
aksi nyata. Agus Salim seharusnya fokus pada visi yang dinyatakan oleh Rokhmat
terkait tujuan bimbel ini diadakan sehingga Agus Salim sebagai pemimpin
kelompok tidak hanya dapat menarik perhatian mereka saja namun juga dapat
membimbing mereka menjadi anak yang pintar dalam hal akademis sehingga memiliki
masa depan yang lebih baik.
Keadaan psikologi seseorang dapat mempengaruhi pemikiran
maupun tindakannya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Dalam proses
komunikasi yang terjadi pada aktivitas bimbel kelompok yang dibimbing oleh Agus
Salim sebagai tutor, keadaan psikologis ini dapat muncul. Adit sebagai tutor
dapat memiliki prasangka maupun praduga pemikiran kepada anggota kelompok
kelasnya yaitu Vivi, Vira, dan Nadia. Menurut DeVito (2009, p. 12-14), hambatan
psikologis merupakan hambatan dalam sebuah komunikasi yang terjadi secara
kognitif atau hambatan yang terjadi pada taraf mental individu sebagai pelaku
komunikasi. Hambatan psikologis dapat berupa praduga pemikiran, pemikiran yang ke
mana-mana, prasangka, pemikiran yang tertutup, dan tingkat emosional yang ekstrem.
Pada observasi pertama tanggal 24 Mei 2015, ketika Agus
Salim sedang mengajar materi jilid 3, ketiga anak bimbingannya tampak begitu
gaduh tidak berkonsentrasi belajar. Seperti bercanda satu sama lain, menggoda Agus
Salim, berbicara sendiri, maupun melamun. Respon Agus Salim sebagai tutor
mereka justru nampak tidak menaruh perhatiannya secara serius kepada tindakan
ketiga anak bimbingnya itu. Agus Salim cenderung membiarkan mereka melakukan
apa yang mereka ingin lakukan. Ketika diwawancarai, Agus Salim menyatakan bahwa
ia merasa lelah karena ketiga anak bimbingnya tidak mau belajar. Tindakan Agus
Salim tersebut secara tidak langsung
VHGDQJ
‡PHQJHMHN· NHWLJD DQDN ELPELQJQ\D GHQJDQ WLGDN PHQJKLUDXNDQ pembicaraan mereka.
Berdasarkan letak pemukiman dan pekerjaan kedua orang tua
Vivi, Vira dan Nadia, mereka merupakan anak-anak yang berasal dari keluarga
berekonomi rendah. Ketika diwawancara, Agus Salim menyebutkan bahwa ketiga
anaknya tersebut berasal dari keluarga kurang berada, membutuhkan kasih sayang,
dan bahkan ada satu anak yang suka mengumpat apabila ia kaget yaitu Vira. Dari
pernyataan Adit tersebut sebenarnya tanpa disadari ia sedang memposisikan
mereka lebih rendah daripada posisinya sehingga ia sering mengacuhkan atau
tidak menghiraukan mereka ketika mereka berbicara sendiri.
Secara psikologis, Agus Salim membangun konstruksi pesan di
pikirannya bahwa ketiga anak bimbingnya merupakan perempuan dari keluarga
berekonomi rendah yang pembicaraannya tidak bermakna; menggosip, mengomel,
merengek, merongrong.
Ketika diwawancara, Agus Salim menyatakan bahwa ketiga anak
bimbingnya memiliki perbedaan karakter. Ia menyebutkan Vivi dan Vira merupakan
anak yang cerewet. Namun Vivi diakuinya lebih cerewet daripada Vira. Sedangkan
Nadia diakuinya tidak banyak bicara saat bimbel. Lebih lanjut Adit menambahkan
materi yang diperbincangkan ketiga anak bimbingnya hanya seputar bercanda dan
menggosip sehingga ia tidak menaruh perhatian kepada perbincangan mereka.
Bentuk dari praduga pemikiran Agus Salim ini sejalan dengan
Teori Kelompok Bungkam dari Houston dan Kramarae (dalam West & Turner, hal.
206-207: 2008) yang menyatakan bahwa anggota-anggota kelompok yang
termarginalkan (berdasaran kemampuan ekonomi rendah atau gender, maupun warna
kulit) dibungkam dan dianggap sebagai penutur yang tidak fasih. Selanjutnya,
mereka menambahkan ada beberapa metode yang digunakan untuk mencapai kekuasaan
yang berdampak pada kebungkaman. Salah satunya dengan mengejek. Mereka
menyatakan bahwa
SHPELFDUDDQ SHUHPSXDQ GLUHPHKNDQ ‡3ULD PHPEHULNDQ ODEHO WHUKDGDS
pembicaraan perempuan sebagai mengoceh, menggosip,
mengomel, merengek,
PHURQJURQJ +HQWLNDQ RFHKDQ LWX · 3ULD VHULQJ NDOL
PHQJDWDNDQ SDGD perempuan bahwa mereka berbicara mengenai hal yang tidak
bermakna.
Tutor berperan dalam menanggapi Hambatan Komunikasi
Dalam temuan data sebelumnya, ketiga anak bimbing Agus
Salim ini menyatakan bahwa mereka ingin diajar kembali oleh Agus Salim ketika
beranjak ke jilid 3. Berdasarkan pengalaman mereka selama diajar oleh Agus
Salim, mereka bercerita bahwa Agus Salim merupakan kakak yang baik, suka
memberi, dan lucu.
Keinginan ketiga anak bimbel Agus Salim ini sejalan dengan
pendapat Soekartawi (1995:
p. 32-34) yang menyebutkan bahwa tutor yang mampu membuat
atau memberikan humor agar siswa yang belajar tidak merasa bosan dan supaya
dimaksudkan agar topik bahan ajar yang diberikan dapat diterima dengan baik.
Dengan humor
PHPEXDW VXDVDQD ‡KDQJDW· DWDX ‡DNUDE· GDQ
PDPSX PHQGRURQJ VLVZD XQWXN
melakukan motivasi agar siswa senang dan dapat menyerap
bahan ajar dengan baik. Di sisi lain, seorang tutor juga harus mampu menyamakan
persepsi dengan anggotanya. Seperti terlihat pada penelitian yang dilakukan
oleh Sisvianda (2013) yang menyebutkan bahwa terdapat hambatan dalam komunikasi
yang dialami pendamping ketika mengkomunikasikan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-Mpd) yaitu adanya perbedaan persepsi dengan
sebagian masyarakat.
Senada dengan apa yang dikatakan oleh Agus Salim ketika
diwawancarai, ia menyatakan bahwa saat mengajar tutor tidak boleh kaku, harus
dapat berimprovisasi menyampaikan materi pelajaran dengan cara yang menarik
perhatian minat belajar anak. Misalnya dengan membahas materi pelajaran melalui
games. Dalam hal ini Agus Salim
mencoba untuk menyamakan persepsinya dengan persepsi ketiga anak bimbelnya
dengan cara bersikap tidak kaku, berimprovisasi dalam menyampaikan pesan.
Persepsi ketiga anak bimbingannya ini menganggap bimbel sebagai tempat untuk
bercanda, bermain, bebas berteriak. Terlihat saat ketiga anak bimbel Agus Salim
yang ditanya, mereka menyebutkan bahwa mereka suka ke tempat bimbel karena di
tepat bimbel dapat bercanda dengan Agus Salim dan mereka menyatakan bahwa Agus
Salim merupakan kakak yang lucu, namun tidak pintar dengan nada bercanda.
Dalam hal ini, Agus Salim melakukan apa yang disebut empati
oleh Naim (2011: p. 48) yang menyatakan bahwa empati adalah sesuatu yang perlu
diperoleh dari orang lain sehingga komunikasi bisa efektif karena ada kesamaan
sudut pandang antara komunikator dan komunikan. Agus Salim sebagai komunikator
berusaha menyamakan sudut pandang mengenai belajar dengan komunikannya yaitu
ketiga anak bimbingnya. Terlihat ketika pada observasi pertama tanggal 24 Mei
2015. Ketika itu Agus Salim sedang berusaha membujuk ketiga anak bimbingannya
agar mau belajar materi jilid 3. Namun, ketiga anak bimbing Agus Salim menolak
untuk belajar. Mereka mendesak Agus Salim agar bimbel diisi dengan bermain
bukan untuk belajar sehingga Agus Salim menyiasati dengan menyusupkan materi jilid
3 ke dalam game.
Anak menolak Pesan yang tidak disukai dalam
Bimbel
Materi pelajaran yang paling disukai oleh ketiga anak
bimbel Agus Salim adalah bercerita. Hal ini menjadi persoalan bagi Agus Salim
karena ketiga anaknya sering menolak belajar apabila ia tidak mengajarkan
pelajaran materi bercerita. Ketika Agus Salim mengajar materi pelajaran bercerita,
ketiga anak bimbingnya lebih mau untuk berkonsentrasi dan aktif belajar.
Sementara apabila bukan pelajaran bercerita, mereka cenderung berusaha
mengalihkan perhatian Agus Salim dengan mengajaknya bercanda, bermain,
berbicara, bahkan mereka tidak segan suka meneriaki Agus Salim.
Hambatan yang muncul ketika Vivi, Vira, dan Nadia menolak
pesan yang hendak disampaikan oleh Agus Salim. Salah satu faktor yang
mempengaruhi ketiga anak bimbing Agus Salim berani menolak pesan materi
pelajaran yang hendak disampaikan oleh Agus Salim sebagai tutor mereka adalah
karena kohesi kelompok yang tinggi. Menurut McDavid dan Harari (dalam Rakhmat,
1991: p. 163-164) menyatakan bahwa kohesi kelompok diukur dari ketertarikan
anggota secara interpersonal pada satu sama lain, ketertarikan anggota pada
kegiatan dan fungsi kelompok dan sejauh mana anggota tertarik pada kelompok sebagai
alat untuk memuaskan kebutuhan personalnya. Sementara itu, Cragan, Kasch, &
Wright (2009: p. 9-18) menambahkan salah satu karakteristik kelompok kecil
adalah time. Beberapa orang sudah
saling berkomunikasi sebelum mereka menjadi sebuah kelompok.
Hubungan antara Vivi, Vira, dan Nadia sudah terjalin erat
sejak sebelum Agus Salim menjadi tutor mereka di kelompok jilid TPQ pada awal
tahun 2015. Vivi dan Nadia merupakan teman satu sekolah. Sedangkan rumah Vira
dan Vivi berdekatan. Hal ini membuat ketiga anak bimbel Agus Salim memiliki
hubungan pertemanan yang akrab. Hal ini membuat mereka memiliki semangat
kelompok yang tinggi, hubungan interpersonal yang akrab, kesetiakawanan, dan
perasaan
‡NLWD· \DQJ GDODP +DO LQL \DQJ PHQGRURQJ
DQJJRWD NHORPSRN XQWXN LNXW ELPEHO
Salah satu implikasi dari komunikasi kelompok yang kohesif
menurut Bettinghaus (dalam Rakhmat, 1991: p. 164-165) terkait konteks pesan
merupakan ancaman kepada kelompok, kelompok yang lebih kohesif akan lebih
cenderung menolak pesan dibandingkan dengan kelompok yang tingkat kohesinya
rendah. Pesan yang
berupa materi pelajaran di luar cerita. Sehingga ketiga
anak bimbing Agus Salim yang merasa sudah nyaman berada di dalam kelompok kelas
jilid TPQ dapat mudah menolak pesan yang tidak dikehendaki oleh mereka. Hal ini
menjadi hambatan dalam komunikasi yang dialami Agus Salim ketika hendak
mengajar materi selain matematika.
Simpulan
Terkait hambatan komunikasi dalam aktivitas bimbingan
belajar (bimbel) antara tutor dengan kelompok anak kelas jilid TPQ di perum Gcc
Masjid Al Amin, tidak terdapat hambatan komunikasi antara anak yang bersekolah
formal sekaligus juga mengamen dengan anak yang bersekolah formal saja.
Lingkungan fisik di tempat bimbel, keadaan psikologis, dan penolakan pesan dari
anggota kelompok, menjadi hambatan dalam komunikasi kelompok kelas jilid.
Lingkungan fisik di tempat bimbel seperti kehadiran anak-anak dari kelompok
kelas usia PAUD sampai kelompok kelas jilid TPQ membuat suasana menjadi gaduh.
Suasana gaduh ini membuat komunikasi antara tutor dengan ketiga anak kelompok
kelas jilid TPQ menjadi terhambat.
Setting tempat
bimbel juga turut menjadi faktor yang dapat menghambat komunikasi dalam
aktivitas bimbel kelompok kelas jilid TPQ. Di dalam tempat bimbel, antar
kelompok kelas dipisahkan hanya berdasarkan tempat duduk kelompok masing-masing
tanpa penyekat. Hal ini membuat anak-anak dari kelompok kelas lain memiliki
akses yang leluasa untuk dapat berlari, bermain, mengganggu kelompok kelas
lain, dan sebagainya.
Keadaan psikologis anggota dan tutor kelompok kelas jilid
TPQ turut memainkan peranan penting dalam aktivitas bimbel yang dilaksanakan.
Pertama tampak dari sorot mata. Anggota yang memiliki ketertarikan dengan
tutornya cenderung akan melakukan kontak mata. Apabila anggota jarang melakukan
kontak mata, hal tersebut mengisyaratkan bahwa ia secara sengaja ataupun tidak,
sedang mengurangi kemungkinan untuk berinteraksi atau bahkan belum siap untuk
berinteraksi dengan tutor maupun anggota yang lain. Hal ini perlu diperhatikan
oleh para tutor sehingga tutor dapat mencari cara agar anak-anak yang ia
bimbing mau untuk berinteraksi dengan satu sama lain.
Salah satu bentuk dari situasi psikologis seseorang adalah
keinginan untuk bercanda. Dengan bercanda, suasana bimbel di dalam kelompok
menjadi cair; tidak kaku. Namun apabila intensitas bercanda di dalam kelompok
lebih banyak daripada membahas materi topik pelajaran dapat membuat konteks
komunikasi menjadi teralihkan ke topik candaan.
Prasangka atau praduga pemikiran yang salah membuat
komunikasi terhambat. Misalnya pemikiran tutor yang meremehkan atau menganggap
anak bimbingannya lebih rendah daripada dia dan menganggap perbincangan mereka
sebagai hal yang tidak penting. Pemikiran tersebut membuat tutor secara tidak
sadar akan tidak menyimak apa yang diperbincangkan oleh anak yang dibimbingnya.
Dampak dari hal ini adalah anak mengalami kesulitan untuk terbuka menceritakan
pengalaman mereka kepada tutornya.
Kehadiran tutor kelompok kelas lain dan sanak saudara
anggota kelompok dapat menghambat komunikasi aktivitas bimbel kelompok kelas jilid
TPQ. Hubungan yang dekat antar tutor membuat mereka dapat saling berbicara
maupun bercanda satu sama lain. Selain itu kehadiran sanak saudara membuat
anggota kelompok tidak dapat berkonsentrasi penuh kepada aktivitas bimbel.
Konsentrasi anggota kelompok terbagi karena di satu sisi mereka harus belajar
dan di sisi lain mereka harus menjaga sanak saudaranya.
Topik materi pelajaran tertentu menjadi salah satu hal yang
menghambat komunikasi kelompok kelas jilid TPQ di perum Gcc Masjid Al amin Cikarang
Bekasi. Terlihat ketika anggota lebih menyukai materi pelajaran tertentu. Hal
ini membuat mereka cenderung untuk menolak belajar ketika bukan materi
pelajaran yang disukai oleh mereka. Adapun buku materi pelajaran sekolah
tematik menjadi faktor penghambat tutor ketika mengajar anggotanya.
Pertama yang perlu diperhatikan adalah antar anak dalam
kelompok memiliki field of experience dan
yang berbeda. Antara anak satu dengan yang lainnya memiliki pengalaman
berbeda-beda. Pengalaman komunikasi mereka khususnya dapat mempengaruhi
bagaimana mereka berkomunikasi sekarang.
Daftar Referensi
Berg & Lune. (2012). Qualitative
Research Methods for the Social Sciences.Unites States of America: Pearson
Education, Inc.
Cragan, Kasch, Wright. (2009). Communication in Small Groups: Theory, Process, Skills, International Student Edition. Boston:
WadsworthCengage Learning
DeVito, Joseph A. (2011). Komunikasi
Antarmanusia (alih bahasa: Ir. AgusMaulana M.S.M.). Tangerang: Karisma
Publishing Group.
Effendy,
Onong. U. (2000). Ilmu, teori dan
filsafat komunikasi. Bandung : PTCitra Aditya Bakti.
Effendy,
Onong. U. (2003). Ilmu, teori dan
filsafat komunikasi. Bandung : PTCitra Aditya Bakti.
Mulyana,
Deddy. (2007). Ilmu Komunikasi Suatu
Pengantar. Bandung: PTRemaja Rosdakarya
Myers & Anderson. (2008). The Fundamentals of Small Group Communications. United States of
America: Sage Publication, Inc.
Naim,
Ngainun. (2011). Dasar-dasar Komunikasi
Pendidikan. Jogjakarta: ArRuzz Media.
Rahman,
Aisyah A. (2011). Penggunaan Media Gambar
dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Kelas VI SD Negeri I Peusangan Bireuen Aceh.Madrasah,
Vol. 3 No. 2 Januari-Juni 2011
Rakhmat, J.
(1991). Psikologi Komunikasi Edisi
Revisi. Bandung: PT RemajaRosdakarya.
Pimpinan
Pusat Majelis Pembina Taman Pendidikan Al Qur’an An Nahdliyah (2008) PEDOMAN
PENGELOLAAN TAMAN PENDIDIKAN ALQUR’AN METODE CEPAT TANGGAP BELAJAR AL QUR’AN AN
NAHDLIYAH. Tulung Agung Pimpinan Pusat Majelis Pembina Taman Pendidikan Al
Qur’an An Nahdliyah.
Sisvianda,
Devina K. (2013). STRATEGI KOMUNIKASI
PENDAMPING PNPM-MPD DALAM UPAYA PEMBERIAN PEMAHAMAN PROGRAMKEPADA MASYARAKAT
(Studi pada
Kegiatan SPP di Desa KemuningLor, Kecamatan
Arjasa-Kabupaten Jember). Universitas Brawijaya,Malang
Soekartawi.
(1995). Meningkatkan Efektivitas
Mengajar. Jakarta: PT DuniaPustaka Jaya.
Yin, Robert K. (2009). Case
Study Research: Design and Methods – 4th Edition.California:
SAGE Publications, Inc.
West, R. & Turner, L.H. (2008). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis danAplikasi, Edisi 3. Jakarta:
Penerbit Salemba Humanika.
Yodmani,
S., & Hollister, D. (2001). Disasters and CommunicDWLRQ 7HFKQRORJ\
3HUVSHFWLYHV from Asia. Second Tampere
Conference on Disaster Communications (pp. 28-30)